Kejadian Koja berdarah pada Rabu (14 April 2010) antara Satpol PP dan warga Tanjung Priuk yang menewaskan 3 orang anggota Satpol PP dan beberapa korban warga sipil lainnya, menyeruak tuntutan masyarakat agar Satpol PP dibubarkan.
POL PP - SEJARAH DAN DASAR HUKUM
A. Jaman Kolonial
Setahun VOC menduduki Batavia (1620) Gubernur Jendral VOC telah membentuk BAILLUW yaitu semacam Polisi yang merangkap Jaksa dan Hakim yang bertugas untuk menangani perselisihan hukum yang timbul antara VOC dengan warga kota selain menjaga ketertiban dan ketentraman warga kota. Pasca Raffles (1815) BAILLUW ini terus berkembang menjadi suatu organisasi yang tersebar di setiap Keresidenan dengan dikendalikan sepenuhnya oleh Resident dan asisten Resident. Satuan baru lainnya yang disebut Bestuurpolitie atau Polisi Pamong Praja dibentuk dengan tugas membantu pemerintah Kewedanaan untuk melakukan tugas-tugas ketertiban dan keamanan.
B. Era Awal Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan RI pembentukan Polisi Pamong Praja tidak secara serempak tetapi bertahap tidak terlepas dari tuntutan situasi dan kondisi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada waktu itu yang pertama membentuk Polisi Pamong Praja adalah Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 30 Oktober 1948 dengan nama "Detasemen Polisi Pamong Praja".
Ø Tahun 1948 untuk D. I. Yogyakarta disebut "Detasemen Polisi Penjaga Keamanan Kapanewon" kemudian pada tahun yang sama diubah menjadi Detasemen Polisi Pamong Praja;
Ø Menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 32/2/20 dan No. 32/2/21 Tanggal 3 Maret 1950 secara nasional disebut Kesatuan Polisi Pamong Praja;
Ø Tahun 1962 namanya berubah menjadi Pagar Baya dengan Peraturan Menteri Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah No. 10 Tahun 1962;
Ø Tahun 1963 berganti nama berganti nama menjadi Kesatuan Pagar Praja dengan Peraturan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No. 1 Tahun 1963 tanggal 11 Februari 1963;
Ø Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 disebut Polisi Pamong Praja;
Ø Menurut UU No. 32 tahun 2004 disebut Satuan Polisi Pamong Praja (Pasal 148);
Ø Kesatuan Polisi Pamong Praja juga dibekali dengan PP no 32 tahun 2004 tentang Pedoman Polisi Pamong Praja yang direvisi dengan PP no 6 tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja; Permendagri No 26 tahun 2005 tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja.
ULASAN
Wacana pembubaran Polisi Pamong Praja jika ditilik secara rasionalitas/praktis maka kita bisa melihatnya dari segi akar sumber masalah.
1. Apabila penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP memiliki kekuatan tetap (putusan MA/Pengadilan/sederajatnya) dan warga melakukan provokasi anarkisme yang menyulitkan suasana menjadi tidak tentram dan kondusif, tidak serta merta Pol PP di salahkan. Apalagi jika provokasi anarkisme tersebut menyebabkan korban di antara kedua belah pihak, yang nyatanya menjurus kearah logika emosional belaka.
2. Satuan Polisi Pamong Praja merupakan derivasi/turunan secara otonom berdiri di tiap-tiap Propinsi/Kabupaten/Kota dengan pertanggung jawaban langsung kepada Kepala Daerah (PP No. 6 tahun 2010 Tentang Satpol PP), dengan demikian sosial approach (pendekatan sosial kemasyarakatan) akan berbeda-beda. Artinya, dugaan kesalahan ataupun pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Pol PP di suatu daerah secara otonom tidak dapat disamakan dengan daerah otonom lain secara rasionalitas dan emosional.
3. Keterlibatan Polisi Pamong Praja dalam aksi-aksi kemasyarakatan (aktif dalam penanganan dampak banjir, tanah longsor, pembersihan got, pengungsian, dan lain-lain) cukup memperlihatkan eksistensi Satpol PP dalam tupoksi sebagai aparat daerah. Mungkinkah dengan alasan ini Satpol PP dapat dibubarkan? Namun hal-hal tersebut tidak dimaknai sebagai sisi positif dari eksistensi Pol PP sebagai kesatuan otonom dalam pemerintahan daerah (UU No. 32 tahun 2004). Warga negara sering mencermati hal-hal buruk yang sering dilakonkan Pol PP meskipun lakon tersebut bersifat spesifik kedaerahan.
Jika ditilik dari eksistensi Pol PP baik secara Historis, Dasar Hukum dan Praktis dalam menanggapi somasi beberapa kalangan agar institusi Pol PP dibubarkan maka beberapa catatan ialah :
Ø Perlunya reformasi birokrasi bukan saja pada instrumen hukum namun secara struktur dan budaya. Secara instrumen Pol PP telah memiliki PP 32 tahun 2004 dan dirubah dengan PP No. 6 tahun 2010. Secara struktur Pol PP berbeda dengan garis komando Polri meskipun kata ”polisi’ yang lebih ditonjolkan. Secara budaya, masih banyaknya anggota Satpol PP yang berkarakter militer. Namun semuanya itu tidaklah dapat disama ratakan seantero nusantara lantaran institusi Pol PP mengilhami asas otonomi daerah.
Ø Pelanggaran-pelanggaran yang mengindikasikan keterlibatan aktor (baik aktor aparat Pol PP dan aktor sipil) perlu diproses hukum secara imparsial (asas keadilan) sehingga dapat meminimalisir kasus pelanggaran terhadap UU dan mencegah indikasi keberulangan (remidial indicate).
Ø Seringkali rekrutmen anggota Satpol PP masih sebatas pada paradigma pegawai-pegawai bermasalah dilingkungan PNS tanpa didasari pemahaman dan pendidikan persuasif. Begitupun perekrutan masih sering melihat pada fisik semata belum pada tingkatan Sumber Daya manusia yang kondusif.
Ø Bila pemerintah (pusat) benar-benar serius menciptakan Pol PP yang profesional baik institusional maupun anggotanya maka mulai proses rekrutmen, proses pendidikan, kurikulum pun harus dimulai dengan profesional. Rekrutmen anggota Satpol PP harus tersendiri dan berbeda dengan rekrutmen PNS non Pol PP. Realita karena kekurangan anggota satpol PP diangkatlah Banpol PP yang cenderung tidak tepat sasaran. Anggota Satpol PP harusnya menjadi anggota Satpol PP dari awalnya bukan pada akhirnya.
Ø Saat ini Pol PP masih dipayungi oleh Peraturan Pemerintah (PP), untuk itu guna mempertegas Satpol PP perlu dibuatkan UU agar menjadi dasar hukum yang jelas sehingga mempertegas eksistensi Pol PP seperti UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri dan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Ø Karena secara otonom, institusi Pol PP bertanggung jawab kepada Kepala Daerah maka secara sosial approach (pendekatan sosial) berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain, tidak dapat dijadikan sebagai pemerataan.
Ø Pol PP secara rasionalitas atau praktis tidak dapat dijadikan sebagai salah satu institusi yang perlu dibubarkan lantaran emosional dan anarkisme yang ditunjukkan institusi Pol PP daerah otonom lain jika dikaitkan pembubaran institusi lain jika melakukan pelanggaran seperti Koja 14 April 2010.
Ø Kebrutalan aktor tidak serta merta terwakilkan secara institusi, misalkan kasus perkelahian aparat negara dan warga lantaran tindakan emosional tidak serta merta dijadikan kesalahan institusi (bukan memahami espirit de corps).
KEPALA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA
KOTA KUPANG, April 2010.
Drs. DUMULIAHI DJAMI, M.Si
PEMBINA
NIP. 19670909 199702 1 002